Kata
“Labakkang” (Bahasa Makassar) secara harfiah berasal dari kata Labba yang
artinya luas atau lebar. Dalam terminologi bahasa Makassar, aklaba berarti
melebarkan. Bisa juga diarrtikan pelesir atau istirahat. Jadi, arti kata
Labakkang yang sesungguhnya ialah suatu tempat yang biasa digunakan untuk
istirahat (tempat melepas lelah) ; tempat persinggahan ; atau tempat rekreasi.
Penamaan ini mengacu kepada luasnya bentangan wilayah pesisir dari ujung utara
sampai ke ujung selatan sepanjang pantai baratnya, disamping karena daerah ini
banyak dikunjungi pada pendatang dari luar daerah yang akhirnya menetap dan
berketurunan disitu. (Makkulau, 2008).
Andi
Bahoeroe Karaeng Gaoe, Karaeng Labakkang ke 22 ini mengungkapkan bahwa kata
”Labakkang” (Bahasa Makassar) berasal dari kata ” A’labba ” yang berarti lebar
dan ” A’gang ” yang berarti berteman atau bersatu. Kedua kata ini, menurutnya
mengacu kepada Kondisi wilayah Labakkang yang luas / lebar serta karakter
masyarakat Labakkang yang suka berteman. Hal ini mendapatkan konfirmasi di
lapangan bahwa masyarakat Kecamatan Labakkang dihuni oleh dua etnis mayoritas,
yakni etnis Bugis pada bagian timurnya dan Etnis Makassar pada bagian baratnya
(Syamsul Alam Nyonri, Disbudpar Pangkep, 2007 : 6 dalam Makkulau, 2008).
Kenyataan
ini menurut Andi Bahoeroe Karaeng Gaoe (Karaeng Loloa) karena pada waktu itu
Somba Labakkang meminta bantuan orang – orang dari Bone dan Soppeng untuk
membuka hutan dan lahan pertanian untuk bercocok tanam pada bagian timur
Labakkang sehingga pendatang Bugis tersebut akhirnya menetap disitu secara
turun temurun. Begitu pula halnya dengan kedatangan Orang – orang dari Gowa dan
Galesong ke Labakkang bagian barat untuk menetap, membuka hutan dan bercocok
tanam dengan persetujuan Somba Labakkang. Pada waktu itu Labakkang sangat
terkenal dengan potensi hasil pertaniannya sehingga daerah ini banyak didatangi
oleh orang – orang Bugis dan Makassar dari berbagai daerah. Kedua etnis ini
hidup rukun dan damai. (Syamsul Alam Nyonri, Disbudpar Pangkep, 2007 : 6).
Dari
sejumlah kerajaan yang pernah ada di Sulawesi Selatan, hanya tiga kerajaan yang
diketahui rajanya bergelar “sombaya” yang berarti raja yang disembah, yaitu
hanya Kerajaan Gowa, Kerajaan Bantaeng dan Kerajaan Labakkang. Sampai kira –
kira Tahun 1653 Masehi, Kerajaan Labakkang bernama Kerajaan Lombasang.
Perubahan nama dari Lombasang menjadi Labakkang menurut Sejarawan Daerah, (alm)
Abdur Razak Daeng Patunru adalah atas perintah Sultan Hasanuddin setelah naik
takhta dalam tahun 1653 sebagai Raja Gowa 16. Abdur Razak Daeng Patunru dalam
tulisannya tersebut tidak menyebutkan alasan Sultan Hasanuddin sehingga
mengubah nama Lombasang menjadi Labakkang. Diduga perubahan itu didasari atas
kesamaan nama Lombasang dengan nama kecil Sultan Hasanuddin, I Mallombasi.
(Makkulau, 2008).
Sejarah
Kekaraengan Labakkang
kekaraengan
Labakkang berasal dan bermula dari kebangsawan Kerajaan Lombasang, yaitu sebuah
kerajaan yang terletak di sebelah utara Siang. Sampai Tahun 1625, Kerajaan
Lombasang masih berdiri sendiri, merdeka dan berdaulat, rajanya bergelar
Sombayya (raja yang disembah) seperti gelar yang dipakai Raja Gowa, sampai
kemudian kerajaan ini ditaklukkan Gowa pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV,
Sultan Alauddin (Tumenanga ri Agamana). Sejak itulah raja Lombasang dan
seterusnya hanya berhak memakai gelar Karaeng saja. (Makkulau, 2008).
Ketika
Sultan Hasanuddin, I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape naik
takhta sebagai raja Gowa XVI dalam Tahun 1653, Beliau memerintahkan supaya nama
Lombasang diubah menjadi Labakkang. Pada tahun 1667, daerah – daerah yang
dikatakan Noorderprovincien (Daerah – daerah utara) yang kemudian disebut
Noorderdistricten ditaklukkan oleh Kompeni Belanda yang bekerjasama dengan
pasukan Bugis dibawah pimpinan Arung Palakka dengan kekuatan senjata. Hanya
Labakkang sendiri yang menggabung dengan sukarela kepada Kompeni, tetapi
kemudian, Labakkang mengadakan perlawanan terhadap kompeni. Kompeni terpaksa
menaklukkan Labakkang dengan kekuatan senjata dan kerajaan itu dimasukkan tanah
– tanah Gouvernemen berdasarkan pasal 20 dari Perjanjian Bungaya. (Makkulau,
2008).
Distrik
Labakkang dikepalai oleh seorang Karaeng, membawahi 25 kepala kampong,
diantaranya seorang yang bergelar Karaeng, seorang bergelar Gallarang, seorang
bergelar Mado, tiga orang bergelar Matowa, tiga orang bergelar Jennang dan yang
lain – lainnya masing – masing bergelar Lokmo. Kampong – kampong tersebut ialah
Labakkang (lokmo), Labakkang (Gallarang), Tonasa (lokmo), Teko (Lokmo),
kajumate (Lokmo), lembang (Lokmo), Turungang (Lokmo), Montjong Bori (Lokmo),
Patjikombaja (Lokmo), Kasuwarang (Lokmo), Biringere (Lokmo), Bontobarani atau
Kalibarang (lokmo), Gentung (Lokmo), Parang – Parang (Lokmo), Pattalassang
(lokmo), Mangallekana (Lokmo), Djannalabu (Lokmo), Kabirisi (Matowa),
Palambeang (matowa), Bontowa (Matowa), Boroanging (Jennang), Kanaungang
(Jennang), KassiLoE (Jennang), Leang (mado), dan Bonto Tangnga (Karaeng).
(Makkulau, 2008).
Dahulu
Karaeng Labakkang didampingi oleh sebuat Hadat yang terdiri dari Lokmo
Labakkang, Lokmo Tonasa, Lokmo Teko, lokmo Kajumate, Lokmo Lambang, Lokmo
Turungeng, Lokmo Moncong bori, Lokmo Bolosino, Lokmo Patjikombaja, Lokmo
Kasuwarang, lokmo Biringere, dan Gallarang Labakkang. Dari mereka itu, adalah
Lokmo dan Gallarang Labakkang yang terkemuka. Dalam Upacara – upacara
pelantikan Karaeng Labakkang itulah yang memegang peranan terpenting. Lokmo
Labakkang adalah juga selaku pinati dari Kalompoang – kalompoang / Arajang –
arajang dari Labakkang. Kalompoang kekaraengan Labakkang itu terdiri dari tiga
pataka, yaitu Bolong Kampongnga atau Tamaloba, Bakkaka, dan Djinaka. Bolong
Kampongnga berasal dari Karaeng Barasa (Pangkajene), Kalompoang mana diberikan
selaku hadiah oleh raja Gowa kepada Karaeng Lombasang karena raja ini membantu
raja Gowa pada permulaan abad XVII dalam peperangannya melawan Raja Barasa.
Kedua kalompoang yang lain itu adalah masing – masing dari Karaeng Mangallekana
dan Karaeng Malise. Kedua kekaraengan ini terletak dalam daerah Lombasang dan
keduanyalah yang sebenarnya merupakan inti Kerajaan Lombasang. Labakkang dahulu
rapat kekeluargannya dengan Gowa dan Bone. (Makkulau, 2008).
Somba
Lombasang / Labakkang yang terkenal ialah La Upa, seorang bangawan tinggi yang
pada dirinya menetes darah keturunan Gowa dan Luwu. Beliaulah yang
memperanakkan I Biba Daeng Pa’ja Karaengta Campagaya yang diperisterikan oleh
La Sulili Matinrowe ri Malili dari garis keturunan La Tenrisessu Cenning Luwu
Arung Pancana, Raja Segeri merangkap Raja Agang Nionjo’ (Tanete), Barru
sekarang ini . Dari hasil perkawinan keduanya inilah melahirkan Karaeng
Labakkang La Ida MatinroE ri Balang yang kawin dengan Patta Ati anak dari Arung
Mampu La Makkulau. Salah seorang anaknya yang terkenal dari Karaeng Matinroe ri
Balang ini adalah La Maruddani Karaeng Bonto – Bonto. Karaeng Labakkang La Ida
Matinroe ri Balang ini kemudian kawin lagi dengan I Endang Daeng Tonji yang
melahirkan putera – puterinya, diantaranya ialah Karaengta Malise, Karaengta
Campagaya, Karaengta Sapanang La Sanapipa Daeng Niasi dan Karaengta Tana – Tana
La Yummu. Anaknya yang terakhir inilah, Karaengta Tana – tana La Yummu yang
bersuamikan Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang (Raja Gowa yang
terakhir). (Makkulau, 2008).
Regent
Labakkang, Page Daeng PaliE juga melawan Belanda yang membuatnya diasingkan ke
Bandung, berputerakan Sondeng Daeng Pasawi, ia menikah dengan I Dellung, puteri
dari Karaeng Galesong yang bernama Majengkok Daeng Sila. Dari perkawinan itu
lahirlah Tjalla Daeng Muntu, kemudian jadi Karaeng Labakkang. Puteranya yang
bernama Andi Bahoeroe menggantikannya menjadi Karaeng Labakkang. Setelah
terbentuk Kecamatan Labakkang beliau menjadi Camat Labakkang pertama, yang
sekaligus menandai awal pemerintahan kecamatan di wilayah tersebut. (Makkulau,
2007 ; 2008).
***
- Makkulau, M. Farid W.
2007. Sejarah dan Kebudayaan Pangkep. Pangkep : Pemkab Pangkep.
- Makkulau, M. Farid W.
2008. Sejarah Kekaraengan di Pangkep. Makassar :'Pustaka Refleksi.